MENATA KAWASAN LINDUNG
Menuju Sertifikasi
Pengelolaan Hutan Lestari
Sertifikasi hutan yang berorientasi pasar dan
bersifat sukarela dalam menilai kinerja pengelolaan hutan telah menjadi salah
satu pilihan untuk menghentikan laju deforestasi serta menjawab tantangan
konservasi hutan dan pengelolaan hutan secara lestari. Kecenderungan tersebut
terjadi setelah upaya boikot terhadap hasil hutan –seperti boikot atas kayu
tropis– tidak terlalu membawa hasil karena tersandung ketentuan WTO dan adanya
kebutuhan pasar yang tinggi akan hasil hutan kayu dan hasil turunannya.
Sertifikasi hutan
menyediakan pilihan bagi konsumen yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan
dengan menyediakan hasil hutan yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik
(well managed forest). Bentuk kepedulian ini menjadi semakin nyata dengan
terbentuknya kelompok pembeli (buyer group) di negara-negara maju yang
menjadi konsumen utama produk-produk hutan dari negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia.
Peningkatan
kepedulian kelompok pembeli terhadap produk-produk yang berasal dari hutan yang
dikelola dengan baik, sudah semestinya dipandang sebagai peluang oleh Unit
Manajemen dalam hal terbukanya akses pasar yang baru. Dengan melakukan
sertifikasi hutan yang dikelolanya, Unit Manajemen mempunyai peluang untuk
menerobos pasar baru atau mempertahankan pasar bagi produk-produk yang
dihasilkannya. Hal tersebut sebenarnya yang menjadi tujuan sertifikasi PHL,
yaitu tujuan pengelolaan hutan lestari (SFM objective) dan tujuan
perdagangan (trade objective).
Namun sangat
disayangkan sejak perkembangannya yang dimulai sekitar tahun 90-an sampai
sekarang ini, sertifikasi hutan di Indonesia belum menampakkan hasil yang
menggembirakan dilihat dari jumlah Unit Manajemen yang sudah mendapatkan
sertifikat. Berbagai hambatan dan kendala pun diidentifikasi, diantaranya adalah
karena standar sertifikasi yang dirasakan berat pemenuhannya bagi Unit Manajemen
serta adanya hambatan yang bersifat non teknis. Dengan demikian munculnya
peluang pasar baru tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Unit
Manajemen hutan di Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk yang
dihasilkannya.
Pemahaman terhadap
kriteria-kriteria dan indikator-indikator standar pengelolaan hutan lestari dari
skema sertifikasi yang akan dipilih adalah cara terbaik untuk mengurangi
beratnya pemenuhan standar tersebut. Selanjutnya indikator-indikator yang
terdapat dalam kriteria tersebut dapat digunakan untuk melihat keadaan di
lapangan, termasuk pemenuhan berbagai aturan atau dokumen pengelolaan yang
dipersyaratkan bagi Unit Manajemen sebelumnya.
Salah satu yang
penting untuk dicermati adalah pentingnya kawasan lindung dalam skema
sertifikasi yang ada, baik skema voluntary (LEI) maupun skema verifikasi
wajib (mandatory) Dephut. Pemahaman ini tentunya akan membantu Unit
Manajemen mempersiapkan dirinya secara lebih baik sebelum melangkah pada tahap
sertifikasi hutan yang dikelolanya.
Jenis Kawasan Lindung di Areal Hutan Produksi
Berdasarkan buku Pedoman Penyusunan Dokumen
AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan
Dephut, jenis kawasan lindung yang mungkin berada di areal konsesi Unit
Manajemen atau berbatasan langsung dengannya antara lain:
1.
Hutan
Lindung;
2. Kawasan
hutan: dengan skoring faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah dan curah hujan
> 175 (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980); dengan lereng lapangan > 40%; dengan
ketinggian > 2.000 m; dan dengan lereng lapangan > 15% untuk jenis tanah sangat
peka erosi (regosol, litosol, organosol dan renzina);
3. Kawasan
bergambut di hulu sungai dan rawa (tebal > 3 m);
4. Kawasan
resapan air;
5. Sempadan
pantai (100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat);
6. Sempadan
sungai: sungai kecil (lebar < 30 m) lebar sempadan 50 M; sungai besar (lebar >
30 m) lebar sempadan 100 m;
7. Kawasan
sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m;
8. Kawasan
sekitar mata air dengan radius 200 m;
9. Kawasan
Suaka Alam (cagar alam dan suaka margasatwa);
10. Kawasan
Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam);
11. Buffer
zone hutan lindung, lebar 500 m (telah ditata batas) atau 1.000 m (belum ditata
batas);
12. Buffer
zone Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam, lebar 500 m (telah ditata
batas) atau 1.000 m (belum ditata batas);
13. Kawasan
Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN);
14. Kawasan
pengungsian/perlindungan satwa liar;
15. Kawasan
pantai berhutan mangrove: lebar 50 m dari tepi hutan menghadap ke arah pantai;
lebar 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah
tahunan yang diukur dari garis surut terendah dan titik pasang tertinggi; lebar
10 m dari tepi hutan menghadap ke arah sungai;
16. Kawasan
Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan: Daerah Karst (kering dan berair); daerah
dengan budaya masyarakat istimewa; dan kawasan lokasi situs
purbakala/peninggalan sejarah bernilai tinggi;
17. Kawasan
rawan bencana alam; dan
18. Hutan
produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam areal kerja.
Pemahaman terhadap jenis-jenis kawasan lindung
ini akan membantu Unit Manajemen untuk mengambil tindakan pengelolaan yang
diperlukan. Tindakan pengelolaan kawasan lindung diarahkan untuk menjamin
kelestarian fungsi ekologi, yaitu terjaminnya fungsi hutan sebagai sistem
penyangga kehidupan berbagai spesies asli dan ekosistem di dalam Unit Manajemen.
Kawasan Lindung dalam Skema Sertifikasi
Berkaitan dengan
sertifikasi, pentingnya pengelolaan kawasan lindung adalah dalam rangka mencapai
tujuan stabilitas ekosistem dan sintasan spesies langka/endemik/dilindungi.
Dalam Standar LEI 5000-1 dijelaskan bahwa yang dimaksud stabilitas ekosistem
adalah ukuran keseimbangan dinamis dari struktur dan fungsi ekosistem hutan
berikut komponen-komponennya sehingga menjamin kapasitas produksi optimum sesuai
dengan batas-batas daya lenting ekologisnya. Adapun yang dimaksud sintasan (survival)
spesies endemik/langka/dilindungi adalah kemampuan spesies flora-fauna
endemik/langka/dilindungi untuk beradaptasi dengan habitat hutan alam produksi.
Dalam skema
sertifikasi pengelolaan hutan lestari LEI tersebut, kawasan dilindungi secara
khusus menjadi bagian penting indikator-indikator di bawah ini:
1.
Dari 11
indikator dalam Kriteria Stabilitas Ekosistem terdapat 4 indikator,
yaitu:
Indikator E1.1
Proporsi luas kawasan dilindungi yang berfungsi baik terhadap keseluruhan
kawasan yang seharusnya dilindungi serta telah dikukuhkan dan/atau keberadaannya
diakui pihak-pihak terkait
Indikator E1.2
Proporsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap keseluruhan kawasan
yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan
Indikator E1.3
Intensitas gangguan terhadap kawasan dilindungi
Indikator E1.4 Kondisi keanekaragaman
spesies flora dan/ atau fauna di dalam kawasan dilindungi pada berbagai
formasi/tipe hutan yang ditemukan di dalam unit manajemen
2.
Dari 8
indikator dalam Kriteria Sintasan Spesies Langka/Endemik/Dilindungi terdapat 4
indikator, yaitu:
Indikator E1.1
Proporsi luas kawasan dilindungi yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan
spesies endemik/langka/dilindungi atau ekosistem unik (kawasan Khusus) serta
telah dikukuhkan dan/atau keberadaannya diakui pihak-pihak terkait
Indikator E1.2
Proporsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik, diperuntukkan secara khusus
bagi kepentingan sintasan spesies langka/endemik/ dilindungi atau perlindungan
ekosistem unik, dan sudah ditata batas di lapangan
Indikator E1.3
Intensitas gangguan terhadap spesies langka/ endemik/dilindungi di dalam kawasan
khusus
Indikator E1.4 Kondisi spesies
langka/endemik/dilindungi di dalam kawasan khusus
Kenyataan di atas menekankan pentingnya
pengelolaan kawasan lindung mulai dari pengukuhan, penataan batas dan tindakan
pengelolaan lain yang diperlukan, termasuk kaitannya dengan spesies flora-fauna
yang ada di dalamnya. Secara umum pengelolaan kawasan lindung dilakukan mengacu
pada UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dan Kepres RI No. 32 tahun
1990 tentang Pengolahan Kawasan Lindung serta peraturan perundangan terkait
lainnya.
Bila dikaitkan dengan
kepentingan sertifikasi sebagaimana menjadi tuntutan kriteria dan indikator di
atas, maka beberapa tindakan pengelolaan kawasan lindung yang dapat ditempuh dan
diupayakan oleh Unit Manajemen antara lain adalah:
-
Pengukuhan dan penataan batas kawasan lindung untuk memperoleh kepastian kawasan
lindung dan fungsinya;
-
Sosialisasi kawasan lindung kepada karyawan di lingkungan perusahaan dan
masyarakat sekitar, termasuk pemancangan papan nama dan papan larangan;
-
Perlindungan dan pengamanan kawasan lindung;
-
Inventarisasi dan monitoring spesies flora-fauna yang ada di kawasan lindung,
termasuk spesies endemik/langka/ dilindungi.
Tindakan pengelolaan hutan lindung ini
sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi Unit Manajemen karena sudah terintegrasi
dengan berbagai peraturan atau ketentuan lain, misalnya dengan AMDAL. Sehingga
yang diperlukan kemudian adalah kesungguhan Unit Manajemen untuk mengelola
dengan baik setiap jenis kawasan lindung yang ada di areal hutan konsesinya.
Selamat berusaha..! [IRM]
Sumber : http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/info_5_1_0604/isi_2.htm
0 Komentar:
Posting Komentar